Archive for the ‘Wisata reflektif tentang hidup dan kehidupan’ Category

Dear Sahabat Blogger,

Bulan Mei di tahun 2011 sekarang ini. Tanpa terasa. Semua serba cepat…waktu berjalan begitu cepat …..war wer wir wur wer wor…chussszzzzzz….kita di sini. Saat ini. Dengan keadaan begini dan begitu. BTW, saya baik. Anda bagaimana, baik semuanya-kah? I hope so.

Terbetik berita bahwa adalah seorang sekertaris kementerian x di rekipliek terkasih ini ditahan oleh yang berwajib karena tertangkap tangan menerima suap lalu dalam proyek pembangunan gedung anu dalam rangka kegiatan anu ….was wis wus wes wos…chuuusszzzz… KPK bergerak cepat (herannya untuk persoalan Bank Century KPK lambat mirip keong..ah kasihan si keong tuh…) ……si ini diperiksa dan si itu ditahan…..lalu…karena sudah lebih dari 1 orang yang terperiksa maka bernanyilah mereka membentuk paduan suara atawa koor yang bunyinya…ehmm si bendahara partai anu terlibat, si anggota dpr nan cantik yang namanya si fulan terlibat….watatitaaahhhh…apaaaaaaa????? lho bukannya si fulan orang top merkotop yang terlihat sangat alim tuuuhh????? Bukankah si fulan sedang ini dan itu tuhuuhhh?????? Mula-mula angin gosip bergerak perlahan semilir…wwwuuusssss……tiba-tiba ….guussraakkkkkk…..patahlah pohon dihajar angin gosip yang kencang….”enggak koq, aqyu ga terlibat, demi sandalku dech, sumpah pocong geth00oooo looohhhh”…Okey lah, memang belum tentu si fulan terlibat tetapi coba dihitung baik-baik tahanan KPK. Tak ada orang kecil hina dina. Semuanya “kakap”. Ada yang cantik ada yang gahar. Semuanya “orang besar” (tidak harus berbadan besar lho ya….).

Mengapa orang-orang yang hidupnya sudah di atas angin masih harus korupsi? Kendati tetap saja adalah kejahatan akat tetapi jikalau pelaku penilep uang panas itu adalah si kromo yang idupnya pas-pasan, kemungkinan besar masih ada simpati barang 1 atau 1 dikit. Lha jikalau kalibernya sudah segolongan mister atau madame mantan menteri, mantan gubenur, mantan anggota dpr….yooo opo tumon toh mas mbak? Kata anak Kupang, “kalo orang karmencong (orang kecil jelata) mencuri dapat dimengerti, mungkin karena terpaksa coz kampung tenga (perutnya) keroncongan”. Akan tetapi kalo yang raksasa mencuri????? Diskursus dalam pikiran kita mungkin akan seperti itu atau mungkin juga tidak begitu. Paling tidak, saya berpikiran begitu. Mengapa mereka masih juga suka mencuri kendati berkecukupan. Saya tak punya ilmu khusus untuk menjawab itu tetapi pikiran saya teringat akan salah satu hukum dasar ilmu nutrisi. Hukum itu adalah “the law of diminishing return” atau “hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang”. Gerangan apa dan bagaimana hubungannya dengan yang tadi itu loh…”sumpah pocong”? Begini:

Jika tumbuhan anda memerlukan nutrisi maka dia pasti dalam keadaan “kekurangan”. Maka berikanlah nutrisi a, b atau c. Jumlah pemberian akan meningkat sesuai kebutuhan untuk terus bertumbuh. Semakin cepat pertumbuhan, kebutuhan nutrisi semakin meningkat. Tapi awaslah, pada satu titik tertentu, tumbuhan anda akan memasuki masa “sudah cukup”. Jika anda masih saja terus memberikan nutrisi maka pertumbuhan memang masih meningkat tetapi dengan kecepatan yang berkurang. Penambahan nutrisi yang anda berikan tidak lagi diutamakan untuk percepatan pertumbuhan melainkan guna mendukung kebutuhan untuk bermewah-mewahan (luxury consumption) yang dalam dunia tumbuhan berarti menambah nilai nutrisi tumbuhan. Tetapi …heeiiiitt waspadalah…tanda merah mulai menyala, jika tumbuhan telah melewati batas “kecukupan” maka fase yang tersisa adalah “keracunan”. Pemberian nutrisi akan mematikan tumbuhan. Jadi, kata bapak/ibu dosen ilmu nutrisi tanaman, hentikan penambahan nutrisi pada tahap “keracunan” tersebut. Begitulah kira-kira keterangan bebas dari hukum “the law of diminishing returns”.

Jika saya analogikan dalam kehidupan sehari-hari urusan makan memakan oleh anda dan saya maka logika hukum di atas dapat seperti ini: pada saat anda kelaparan setelah tak makan 3 hari 3 malam makanlah 1 piring nasi. Pastilah dalam waktu singkat isi piring akan tandas tuntas licin bersih. Jika masih lapar makanlah makanan yang ada pada piring ke 2 atau ke 3. Akan tetapi awaslah ketika anda memakan isi piringan ke 4 dan kecepatan makan anda makin berkurang maka itu pertanda bahwa sebenarnya kelapran anda sudah terobati. Berhentilah makan karena jika anda menambahkan isi piringan ke 5 dan seterusnya ke dalam perut anda maka anda akan saluran pencernaan anda akan “tercekik” dan lalu anda akan mati kekenyangan. Bagi sohib yang ingin mencoba rumusan di atas ya silakan saja…wkwkwkwkwk….saya tidak.

Ketika terbetik kabar seorang nenek tua terancam penjara karena mencuri 3 buah kakao, terenyuhlah hati kita. Dia mencuri karena lapar. Bahkan hakim yang memutuskan vonis bagi diapun harus bercucuran air mata ketika amengetuk palunya. Siapa yang salah? Moralitaskah? Bisa jadi begitu tetapi bukankah di rekipliek ini ada yang namanya konstitusi, yang kita kenal sebagai UUD 1945 (yang diamandemen), yang di bagian preambulenya mengatakan bahwa “negara wajib mensejahterakan masyarakatnya”? Pada titik ini kita harus mengatakan bahwa “negara harus bertanggungjawab terhadap orang-orang miskin itu karena anda dihadirkan antara lain untuk mengurus itu. Siapkan cara agar setiap warga negara bisa makan tanpa harus mencurui. Pelik? Ya iya lah tapi bukankah negara punya pengurus-pengurus yang dibayar rakyat? Anda dimana wahai pengurus negara?

Akan tetapi kita juga menjadi tahu bahwa ada sebagian kelompok masayarakat lain yang sudah tidak lagi berada dalam “zona kekurangan” karena telah berada di posisi “zona berkecukuan”. Menambah-nambah kekayaan hanyalah memberikan arti bagi naluri narsis dan berkemewahan. Penambahan kekayaan sebenarnya sudah tak memberikan arti lagi. Memang betul bahwa dalam filsafat, manusia adalah makhluk tak sampai. Tak pernah puas tetapi hukum “the law of dimisnhing returns” memberikan petunjuk bahwa ada saatnya kita harus tahu kata cukup. Enogh is enough. Melewati batas itu, racun namanya. Upaya terus saja menumpuk kepuasan melalui kekayaan dapat ditafsirkan sebagai KESERAKAHAN. Dan keserakahan tak punya makna apa-apa lagi kecuali akan menuntun kepada keracunan yang mematikan. Mematikan?

Ya tentu saja karena korupsi, yang berasal dari kata bahasa Latin corruptio – kata kerjanya adalah corrumpere – memutar balik, menyogok, merusak, menggoyahkan, dan melawan hukum. Jelaslah bahwa korupsi adalah racun yang mematikan bukan? Bagimana dengan mencuri? Mencuri (latin, furtum) atau steal (Inggris) adalah mengambil, menggondol, menyerobot, menggasak, menyambar dan melawan hukum. Mematikan? bisa saja iya tapi lihatlah perbedaannya dengan korupsi berikut ini. Corrumpere selalu berurusan dengan nomina yang besar sedangkan furtum urusannya adalah nomina yang kecil. Maka betul sudah bahwa si Nenek hanya mengambil 3 buah kakao seharga Rp. 3000-an tetapi dalam kasus Bank Century kerugian negara mencapai trilyunan rupiah. Harus dikatakan dengan tegas bahwa baik korupsi maupun mencuri memiliki kesamaan, yaitu melawan hukum. Akan tetapi cobalah ditilik dari aspek keadilannya. Katakan padaku wahai sahabat, yang mana yang lebih mematikan? Sebandingkah vonis 1 bulan penjara bagi si nenek pencuri kakao vs sumpah pocong? Lalu, perhatikanlah juga bahwa kata corrumpere selalu ditujukan kepada perlikau mereka yang memiliki kekuasaan. Lord Acton benar belaka: “power tend to corrupt”.

Tapi lihatlah nasib para koruptor pada babak akhir kehidupannya. Nyaris tak ada yang berakhir bahagia. Apa enaknya hidup enak berlimpah kemewahan di satu masa tetapi lalu harta anda habis terkuras di masa tua untuk mengurus perkara, membiayai perawatan kesehatan, membayar uang panas kepada pengurus-pengurus negara yang curang dan lain sebagainya. Pada saat-saat genting di zona keracunan, tak ada uang apapun juga yang mampu menolong anda untuk membeli kebahagiaan. Kejatuhan Marcos

di Filipina, Soeharto di Indonesia dan Mubarak di Mesir adalah contoh perkara itu. Nama mereka akan dikenang sebagai kumpulan para manusia serakah. Uang berapapun tak bisa lagi membeli nama baik. Sumpah pocong demi sandal kesayangan pun tak ada artinya

lagi. Siapa yang harus bertanggunjawab kalau sudah begini? Ada 2 pihak, yaitu moralitas pribadi dan keteguhan negara dalam menegakan hukum secara adil dan jujur. Negara jangan curang. Pencuri pisang ditangkap dan diinjak. Pencuri raksasa disayang-sayang. Jangan begitulah boss. Pesan moralnya adalah berhentilah hidup curang. Racun tuh. Preman tuh. Lho koq preman? “Mereka” memang bilang begitu. Koruptor adalah preman. Kesian eh Sekian.

Preman – Superkid

Tabe Tuan Tabe Puan

Sahabat Blogger….

Saya ingin membahas sesuatu tentang apa yang saya alami, apa yang saya rasakan, apa yang saya banggakan, apa yang saya pedihkan, apa yang saya tulis dan apa yang saya renungkan…
Akan tetapi sesuatu itu memerlukan perenungan yang mendalam dari kita semua karena, jujur saja, saya sendiri mungkin cuma ingin menuliskan apa yang saya rasa. Bukan apa yang saya tahu.

Nah, lalu setelah anda membaca ujar-ujaran berikut ini (bukan karya saya. Saya cuma mengutip dari –nk– dan seorang sahabat lainnya), mohon ditanyakan dalam hati anda…apa yang anda rasa….(jangan terburu-buru berusaha mengemukakan: …apa yang anda tahu….)
Selamat menikmati wisata reflektif ini…Semoga Tuhan membisikan sesuatu bagi anda…dan juga saya: (lebih…)